Oleh: Bonnie Setiawan *
Invocavit.Com- DEKRIT Presiden 5 Juli 1959 adalah peristiwa bersejarah yang luar biasa. Presiden Sukarno pada akhirnya berhasil menanggalkan demokrasi liberal dan mengembalikan demokrasi kerakyatan musyawarah-mufakat sesuai UUD 1945, atau yang disebutnya Demokrasi Terpimpin. Sayangnya akibat propaganda Orde Baru, peristiwa 5 Juli 1959 dan periode Demokrasi Terpimpin dijelekkan dan dihitamkan dari sejarah Indonesia, seperti dengan sebutan Sukarno yang diktator, otoriter, dan tidak becus mengurus ekonomi.
Dalam pembukaan sidang pertama Dewan Konstituante di tahun 1956, Sukarno sudah mewanti-wanti agar bisa dibuatkan UUD yang cocok dengan jiwa proklamasi, UUD yang cocok dengan jiwa revolusi. Dia menganggap UUDS 1950 telah menekan jiwa revolusi dan telah menghambat jalannya revolusi, juga telah memberi kesempatan bagi tumbuhnya segala macam aliran yang konvensional dan konservatif.
Akan tetapi ia harus menelan kekecewaan, karena sidang Konstituante tidak menghasilkan penyelesaian atas masalah-masalah tersebut. Ia berharap Konstituante mampu menyelamatkan jalannya revolusi Indonesia.
Bonni Setiawan
Dalam pidatonya di peringatan 17 Agustus 1957 berjudul “Satu Tahun Ketentuan” Sukarno menyampaikan kritiknya atas berjalannya demokrasi liberal, yang disebutnya akan menuju kepada anarki total. Menurutnya bukan hanya telah terjadi krisis demokrasi, tetapi juga krisis akhlak, krisis Angkatan Perang, krisis cara meninjau persoalan, krisis Gezag (otoritas); krisis yang menyusul krisis sehingga bisa menjadi krisis total, atau krisis mental.
Katanya kemudian,“Saya kira bangsa Indonesia s a l a h s i s t e m p o l i t i k n y a, terutama sekali dalam masa perpindahan ini. Bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia telah “disalah-gunakan” oleh pemimpin-pemimpinnya dalam rock-and-roll-nya demokrasi-omong yang tak kenal batas, demokrasi-omong yang tak kenal disiplin, demokrasi omong yang tak kenal pimpinan.
Ya, demokrasi yang tak kenal pimpinan. Demokrasi kita demokrasi yang tak terpimpin. Demokrasi kita demokrasi “free fight liberalism”. Demokrasi kita demokrasi “hantam kromo”, demokrasi “asal bebas mengeluarkan pendapat”, — demokrasi bebas mengkritik, bebas mengejek, bebas mencemooh, bebas-bebas-bebas zonder leiderschap, zonder management ke arah tujuan yang satu. Demokrasi kita ialah demokrasi yang hanya mendewa-dewakan kebebasan, hanya mengkeramatkan kebebasan, — demokrasi yang didalamnya tak ada yang keramat kecuali kebebasan itu sendiri. Demokrasi kita ialah demokrasi yang didalamnya “niets wordt ontzien behalve de vrijheid zelve”. Kritik ke kiri, ejek ke kanan, kecam di depan, fitnah ke belakang, sanggah ke atas, cemooh ke bawah. Hanya satu yang tidak dikritik, hanya satu yang tidak diejek, tidak dikecam, tidak difitnah, tidak disanggah, tidak dicemooh, yaitu …. “kebebasan omong” itu sendiri”. …
Karena itu, maka kita perlu mengadakan k o r e k s i dalam sistem politik yang sampai sekarang kita anut, — sistem politik yang kita jiplak mentah-mentahan dari dunia luaran. Bukan “free fight liberalism” yang harus kita pakai, tetapi satu demokrasi yang mengandung m a n a g e m e n t di dalamnya ke arah tujuan yang s a t u, yaitu masyarakat keadilan sosial. Satu demokrasi yang berdisiplin, satu demokrasi yang sesuai dengan dasar-hidup bangsa Indonesia yaitu gotong royong, satu demokrasi yang membatasi diri sendiri kepada tujuan yang satu, satu demokrasi met leiderschap, satu demokrasi t e r p i m p i n.”
Nyatanya Konstituante mengalami kebuntuan. Para anggota Konstituante tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang, dan karenanya tidak mampu lagi menyelesaikan tugasnya yang telah berjalan selama 2,5 tahun. Dan oleh karena itulah, akibat situasi yang berlarut-larut dan ketidakmampuan Konstituante, Presiden Sukarno akhirnya harus menjalankan langkah drastis, langkah yang prinsipil, yaitu mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Isi dari Dekrit adalah sebagai berikut:
“Kami Presiden Republik Indonesia / Panglima Tertinggi Angkatan Perang,
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”.
Dekrit ini bersifat sangat fundamental dan dapat dikatakan merupakan perombakan atas sistem sebelumnya. Sukarno mengatakannya sebagai perobahan kesadaran yang sedalam-dalamnya, karena telah terjadinya penyelewengan dari dasar dan tujuan perjuangan. Dan bahwa kesadaran sedalam-dalamnya akan sifat dan hakekat revolusi kita adalah, tidak bisa lain, dasar dan tujuan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Dan dengan memasuki kembali jiwa revolusi, maka UUD 1945 adalah dasar ketatanegaraannya.
Selanjutnya Sukarno menjelaskan perlunya melihat stock opname atas modal nasional Indonesia ketika itu yang dapat dipakai sebagai bahan dan alat perjuangan. Menurutnya ada tujuh hal yang telah dimiliki bangsa Indonesia, yaitu:
1. UUD 1945 dan jiwa revolusi 1945;
2. Hasil dari segala pikiran dan keringat rakyat sejak 1945 hingga sekarang, baik yang berupa hasil materil maupun yang berupa tenaga-tenaga baru, kader-kader baru dan lain sebagainya;
3. Makin bertumbuhnya kekuatan ekonomi yang menjadi milik nasional atau di bawah pengawasan nasional, yang meliputi sekitar 70% dar seluruh kekuatan yang ada di indonesia;
4. Angkatan Perang yang makin lama makin kuat dan administrasi pemerintahan yang makin lama makin baik;
5. Wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang kompak unitaristis dan amat luas, yang letaknya sangat strategis dalam politik dan ekonomi dunia, serta jumlah rakyat (man-power) yang mencapai 80 juta dan yang akan terus bertambah;
6. Kepercayaan pada kemampuan dan keuletan bangsa sendiri;
7. Kekayaan alam, baik yang ada di atas bumi maupun di dalam bumi, yang tidak ada bandingannya di seluruh dunia.
Dekrit ini bisa dikatakan sebagai kritik mendasar dan perombakan besar-besaran atas segala hal yang telah terjadi dalam sistem nasional sejak revolusi fisik, ditetapkannya Maklumat X dan disepakatinya KMB sampai dengan terjadinya kebuntuan dan kegagalan Konstituante. Sukarno menyebutnya sebagai “herordening total”, yaitu
“Tinggalkan sama sekali alam liberalisme, tinggalkan sama sekali segala konstruksi-konstruksi dari alam liberalisme itu, tinggalkan sama sekali Undang-undang Dasar 1950, masuklah sama sekali dalam alam Revolusi lagi, pakailah Undang-undang Dasar 1945 itu sama sekali sebagai alat perjuangan, kibarkanlah sama sekali benderanya Demokrasi Terpimpin, — hiduplah sama sekali secara baru, berjuanglah sama sekali secara baru!”.
Selanjutnya Sukarno menjelaskan berbagai hal yang bersifat planning ke depan secara rinci, layaknya sebuah pedoman dan program bagi langkah-langkah strategis ke depan. Karena sifat pidato yang berisikan hal-hal strategis inilah, maka pada akhirnya DPA telah menyusun dan membahasakan kembali pidato ini menjadi sebuah pedoman pokok negara.
Dalam sidang DPA tanggal 23-25 September 1959 telah ditetapkan bahwa pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 adalah Garis-Garis Besar Haluan Negara, dan bahwa isi keseluruhan pidato akan diperinci oleh DPA dan dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol).
Manipol kini menjadi pedoman resmi bagi rakyat Indonesia dalam menyelesaikan revolusi Indonesia yang multi-kompleks. Sementara itu DEPERNAS dalam sidangnya tanggal 28 Agustus 1959 juga menyatakan bahwa Manipol adalah GBHN dalam penyusunan Rencana Pembangunan Semesta. Mengingat belum terbentuknya MPRS, maka GBHN ditetapkan dengan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960.
Padanan Manipol adalah USDEK. USDEK sebenarnya adalah pokok-pokok penting dari saripati pidato PKRK yang disampaikan sendiri oleh Sukarno dalam Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Bandung pada Februari 1960, yang merupakan akronim dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional.
Banyak hasil dari Dekrit 5 Juli 1959 merupakan mutiara-mutiara jamannya, yang merupakan puncak pemikiran Sukarno. Selain Manipol/USDEK, maka turunannya berupa Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) adalah sebuah warisan Sukarno yang luar biasa, akan tetapi dihitamkan Orde Baru. Apabila PNSB bisa dilanjutkan pada masa itu, maka Indonesia sekarang kiranya lebih maju dari China atau Korea Selatan.
Mutiara lainnya adalah Trisakti dan Berdikari, azas-azas yang luar biasa dalam pelaksanaan PNSB. Juga pidato “To Build the World A New” dan “New Emerging Forces” yang luar biasa.
Sayangnya sampai sekarang Dekrit 5 Juli 1959 tidak diperingati sebagaimana seharusnya. Masalah utamanya, banyak orang, termasuk para aktivis progresif atau Sukarnois sekalipun tidak cukup paham dengan baik periode Demokrasi Terpimpin tersebut.**
* Penulis Bonnie Setiawan, pengamat sosial politik