banner 728x250

Pemerintah Perlu Segera Bangun Pasar Domestik Terintegrasi, Tidak Perlu Takut Isu Proteksionisme

banner 120x600
banner 468x60

Jakarta, Invocavit.Com-Pemerintah perlu segera bangun pasar domestik yang terintegrasi, tidak perlu takut isu proteksionisme demikian dalam Gelora Talk bertajuk ‘Kenaikan Harga-harga Menggelisahkan Warga: Apa Kabar Indonesia?, kemarin di Jakarta.

 

banner 325x300

“Jadi kapasitas fiskal pemerintah sebenarnya relatif sangat terbatas. Kemampuan kita mensubsidi ini, kan juga ada limitnya, . sementara pemerintah diminta menyediakan barang untuk masyarakat dengan harga terjangkau.” Dengan memprediksi kemampuan pemerintah dalam mensubsidi akan semakin terbatas, jika pada September 2022 mendatang, harga BBM dan energi global naik lagi. “Kita sekarang berhadapan, bukan hanya dengan faktor inflasi saja, tapi juga faktor currency (mata uang, red), tren penguatan dollar. Ini harus segera dicarikan solusi jangka pendek, menengah dan panjang,” ujar Anis Matta.

Inflasi di Indonesia kelihatannya lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Tetapi hal itu dipandang hanya sekedar angka-angka makro ekonomi, jika melihat fakta-fakta di lapangan. “Kalau sudah bicara ekonomi, ini berkaitan dengan dapurnya masyarakat. Publik makin frustasi akibat tekanan kesulitan ekonomi saat ini. Harga-harga naik, daya beli menurun dan kehidupan semakin sulit,” sebutnya.

Solusi jangka pendeknya, menurut Anis Matta, pemerintah tetap dituntut menyediakan harga pangan yang terjangkau dan memperbaiki rantai distribusi. Sementara solusi jangka menengahnya, pemerintah harus membangun pasar domestik yang terintegrasi. Sedangkan solusi jangka panjangnya tetap membangun ketahanan pangan. “Membangun pasar domestik yang terintegrasi ini tidak ada hubungannya dengan isu proteksionisme, tetapi lebih kepada sisi ketahanan nasional kita, khususnya di sektor pangan dan energi. Jadi orientasi pasar kita pasar domestik yang terintegrasi, tapi harus ada political will dari pemerintah,” tutur Anis Matta.

Sedangkan Kepala Badan Pangan Nasional (BPN) Arief Prasetyo Adi mengatakan, BPN telah ditugasi Presiden Joko Widodo untuk melakukan koordinasi dengan tiga kementerian, Kementerian Pertanian, Perdagangan dan BUMN, serta Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menentukan harga wajar kebutuhan pangan sampai ditangan konsumen, termasuk distribusinya. “Kedepan BPN akan seperti Bank Indonesia, memiliki cadangan yang cukup melakukan intervensi guna menstabilitasi harga pangan. Intinya menghadirkan harga pangan yang wajar dan terbaik untuk konsumen.”.

Pemeritah sudah menyiapkan early warning system untuk memantau ketersediaan pasokan komoditas pangan. Hal ini terutama untuk memantau empat komoditas utama yang menggantungkan impor seperti, kedelai, bawang putih, daging sapi, serta gula konsumsi. “Misalnya untuk menjaga stabilitas harga beras, sudah dipetakan dengan kebutuhan setahun sekitar 29,5 juta ton, dan diharapkan surplus 7,5 juta ton dicapai tahun 2023 mendatang.” Untuk menjaga ketersediaan pangan,  BPN telah mengusulkan Kementerian Pertanian melakukan terobosan-terobosan dalam kapasitas produksinya, dengan tidak hanya mengikuti sistem pola tanam selama ini, seperti penggunaan sistem green house.

“Sedangkan distribusinya, Badan Pangan Nasional memberikan semacam insentif. Daerah yang surplus, kita kirim ke daerah ektrem atau yang memerlukan, hambatan hanya soal konektivitas saja. Tapi kita sudah minta Menteri Perhubungan untuk mengubah rute Tol Laut guna memudahkan distribusi kita.” BPN akan membangun ekosistem pangan nasional terintegrasi, selain untuk ketahanan pangan, juga dalam rangka meningkatkan kebutuhan ekspor. Kemarin saya ketemu dengan tamu dari Uni Emirat Arab, mereka minat investasi di Indonesia. Mereka mau investasi peternakan sapi dan produk turunannya seperti susu dan keju. Produksi ini bisa untuk memenuhi kebutuhan Indonesia, sisanya baru diekspor. Ini salah satu cara membangun ekosistem pangan melalui kerjasama G to G atau B to B,” tutur Arif.

Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)I, Tulus Abadi menilai terjadinya gejolak harga pangan karena kondisi Indonesia begitu rapuh dalam tatanan pangan. Fluktuasi harga pangan, menurut Tulus sebenarnya sudah terjadi sejak akhir 2021, dengan mulai terlihat lonjakan harga minyak goreng..   Fluktuasi harga pangan tidak semata karena faktor eksternal pelambatan ekonomi dan kecamuk perang Rusia-Ukraina, tetapi juga disumbang adanya keterbatasan pasokan didalam negeri sendiri.  “Mirisnya mengapa menggantungkan gandum yang tidak diproduksi secara lokal. Kita pengonsumsi mie nomor dua dunia, dan juga roti yang mengandalkan bahan impor.”.

Untuk itu, Tulus sangat menantikan peran Badan Pangan Nasional (BPN) untuk menuntaskan persoalan gejolak pangan. BPN harus mampu membenahi sendi-sendi pasokan, distribusi dan konsumsi pangan.  “Sekarang, juga kondisi iklim global tak bersahabat, selain pasokan tak merata. Misalnya, Australia sedang mengalami kebakaran maka harga daging melonjak. Sedangkan, mengalihkan impor dari India, malah diduga kuat membawa virus PMK.” Tidak hanya pangan, menurut Tulus kerentanan juga terjadi bidang energi seperti ketersediaan gas. Pertamina belum lama ini menyesuaian harga Elpiji komersial yang mana kendati masih dibawah biaya produksinya. “Kebutuhan gas juga belum mandiri, karena mengandalkan impor, sehingga harus disesuaikan. Sedangkan LPG 3 Kg terus disubsidi dengan barang yang sama, sehingga memicu konsumen bermigrasi ke LPG 3 Kg,” tutur Tulus.

Begitu juga Direktur Eksekutif Lembaga Survei Median Rico Marbun mengatakan, seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya ibu rumah tangga saat ini merasakan dampak dari krisis ekonomi dan melambungnya harga-harga pangan.  “Hampir seluruh usia mengakui adanya perasaan krisis Ini bisa terjadi mungkin dirasakan orang tua atau saudaranya. Masalah ekonomi menjadi titik terberat dan stabilitas harga dan hampir 90% menjawab demikian.”  Perasaan adanya krisis ekonomi dan harga, kata Rico Marbun, lebih mencolok, atau jadi top of main public. Diharapkan hal ini  menjadi perhatian publik dan pemerintah. Sebab, publik telah merasakan performa ekonomi dan situasi memburuk. Kondisi ini, menurutnya, akan berimplimasi dan membawa perubahan konstelasi politik khususnya legitimasi politik.

“Sri Lanka contoh nyata, dalam waktu singkat pemerintahnya tumbang. Begitu juga yang menimpa negara maju, seperti Inggris dan Itali, perdana menteri mengajukan resign.” Kalau saja kondisi perekonomian yang dirasakan masyarakat terus merosot, Indonesia akan mengalami dampak yang tidak jauh berbeda. Pengaruh kekuatan partai lama juga akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Sebaliknya, partai baru yang menawarkan ide yang cemerlang berpeluang mendapat dukungan rakyat banyak.

Tugas lembaga survei hanya memotret perasaan masyarakat untuk disampaikan. Perasaan negatif seperti kekhawatiran, waspada, takut, marah dan lainnya lebih dominan dirasakan masyarakat saat ini. “Saya kira ini harus jadi perhatian pemerintah, karena ternyata  perasaan ini juga terinfeksi dari dampak pandemik, bukan hanya infeksi Covid-19,” tutur Rico Marbun.  (zar).

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *