TEPAT pukul 16.34 WITA, 7 Oktober 2022, di Ball Room Hotel Nusa Dua Bali, World Conference on Creative Economy (WCCE) Konferensi Dunia tentang Ekonomi Kreatif resmi ditutup oleh Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, setelah berlangsung selama 3 hari, sejak tanggal 5 hingga 7 Oktober 2022.
Pembukaan resmi dilaksanakan pada tanggal 6 Oktober 2022 oleh Presiden RI, Joko Widodo yang diawali dari ucapan Selamat Datang dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dr. Sandiaga Salahuddin Uno. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Gubernur Bali juga hadir mendampingi Presiden Jokowi.
Dalam pidatonya Presiden Jokowi mengingatkan bahwa, saat ekonomi dunia terganggu akibat pandemi covid-19, sektor ekonomi kreatif mampu bertahan. Ekonomi kreatif mampu menjadi solusi mengatasi krisis itu. Ini didorong bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi yang mendukung percepatan pemasaran produk ekonomi dan industry kreatif dengan sistem digital. Sektor ekonomi kreatif adalah pilihan yang tepat untuk sebahagian besar masyarakat Indonesia karena persaingan terhadap produk industry kreatif relative lebih rendah jika dibandingkan dengan produk industry skala besar. Ekonomi kreatif akan mampu mendorong kemajuan sebuah bangsa yang akhirnya dapat mendorong pemulihan ekonomi global.
Direktur Jenderal World Intellectual Property Organization (WIPO), Daren Tang dalam sambutan virtualnya mengatakan bahwa, “Hari ini ekonomi dunia memasuki tahap awal era baru, ketika dunia digital dan kreatifitas menyatu yang memberikan peluang untuk menciptakan ide dan kesempatan baru di seluruh belahan dunia”. WIPO meluncurkan Program Projection Proof Data Collection guna meningkatkan kesadaran tentang arti penting hak kekayaan intelektual. Dalam programnya WIPO akan terus mencari cara guna menjunjung dan memperkuat system pelindungan HKI Internasional termasuk system pelindungan hak cipta Internasional.
Bangun rasa hormat antara sesama pelaku ekonomi kreatif dan komunitas budaya akan arti penting Hak Kekayaan Intelektual. Menumbuhkan kesadaran baru bagi pelaku ekonomi kreatif dan komunitas budaya, seperti penulis, musisi dan seniman untuk memahami Hak Kekayaan Intelektual dari sudut pandang mata pencaharian. Wanita dan pemuda adalah sasaran strategis untuk pengembangan ekonomi kreatif di berbagai belahan dunia untuk keberlangsungan kehidupan di era ekonomi baru. WIPO akan terus membangun indicator capaian pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual yang lebih jelas dan tangguh.
Acara ini merupakan acara sela (side event) Presidensi G20 dan merupakan forum pertemuan delegasi dari 65 negara. Peserta delegasi bercerita tentang pengalaman di negaranya masing-masing. Berbagi pengetahuan dan bertukar pikiran untuk merumuskan berbagai panduan dan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pasca pandemi covid-19. Hasil akhir yang diharapkan adalah agar konperensi ini dapat merekomendasikan kerjasama konkrit dalam menyongsong dan menata kehidupan peradaban dan masa depan dunia yang lebih baik melalui ekonomi kreatif.
Dr. Sandiaga Salahuddin Uno dalam pidato sambutannya, menegaskan bahwa rangkaian konperensi ini akan menyiapkan peta jalan (road map) untuk menyongsong kebangkitan ekonomi masa depan dunia melalui sector ekonomi kreatif yang berpihak pada UMKM dan mereka-mereka yang bekerja pada sector ekonomi informal yang mampu menyerap 97 % lapangan pekerjaan. Sasarannya antara lain mulai dari para seniman, musisi, para konten kreator, pemeran film, sutra dara film, pendesain, pembuat konten dan aplikasi permainan game, produser rekaman suara dan sinematografi, sampai pada pemegang hak terkait seperti para penampil.
Tidak itu saja, isu terkait pelindungan Indikasi Geografis juga menjadi topik yang hangat dibcarakan. Tidak saja tentang reputasi dan kualitas satu produk yang dihasilkan oleh para petani atas produk pertaniannya karena faktor lingkungan geografi tempat di mana produk itu dihasilkan, akan tetapi juga bagaimana peranan manusia yang telah memiliki pengetahuan secara turun temurun dalam mengelola produk tersebut. Sebut saja produk kopi Gayo, Sidikalang, Kintamani, Simalungun, Sembalun, Karo, dan lain-lain, yang tidak saja kualitas dan reputasinya ditentukan oleh letak geografi di mana kopi itu ditanam, tetapi juga didasarkan pada kepiawaian para petani dalam mengatur siklus mulai dari menanam, memanen, menjemur dan menyangrai (roasting) sampai pada menyajikannya.
Tak heran juga kalau kemudian para barista ikut ambil bagian dalam perbincangan itu. Sayangnya masih ada penyaji kopi (barista) yang hanya digaji Rp.500.000,- per bulan dari para pengusaha café. Itu karena keahlian barista tak dipandang sebagai mata pencaharian yang bernilai hak kekayaan intelektual.
Konferensi yang dihadiri lebih dari 500 orang peserta –lebih sedikit dari jumlah peserta pada penyelenggaraan tahun 2018 (6-8 Noveber 2018) yang hampir mencapai 1.500 orang– dan dihadiri lebih dari 15 Menteri yang terkait dengan urusan ekonomi kreatif dari masing-masing negara yang dihadiri 65 delegasi dari negara-negara di dunia.
Beruntung kami, Prof. Dr. OK. Saidin, SH. M.Hum, Dr. Dina W. Karyodimejo, SH, LL.M, DR. Djamal, SH. M.Hum serta Prof. Dr. Yudi Darma dari Asosisasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual (APHKI), mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan itu atas undangan Dr. Ir. Robinson H. Sinaga, SH, LLM Direktur Pengembangan Kekayaan Intelektual Industri Kreatif, Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Robinson Sinaga menegaskan, “Selama ini isu-isu terkait HKI hanya dibahas di ruang-ruang kuliah yang cenderung mengedepankan teori dan berbagai isu makro yang “mengangkasa”, tapi kali ini kita coba menampilkannya di kehidupan nyata “membumi” yang diperlukan oleh pelaku ekonomi kreatif.”
Dengan menampilkan para pemerhati, penulis dan barista kopi, sesi yang bertemakan “Celebrating Coffee as Part of Propising Sector in Creative Economy, perbincangan tentang kopi sebagai produk yang dapat diberi tanda Indikasi Geografis (IGs), semakin menarik perhatian peserta konferensi.
Salah satu isu penting yang diangkat dalam konferensi adalah terkait dengan menumbuhkan kesadaran dan apresiasi para pelaku ekonomi dan industry keratif terhadap pentingnya HKI. Mulai dari pelindungan hak cipta, desin industri, merek, sampai pada indikasi geografis. Perspektif ekonomi kreatif dan HKI dalam pembangunan ekonomi Negara didasari pada pemikiran bahwa HKI merupakan asset utama yang dimiliki pelaku ekonomi kreatif.
Kurangnya kesadaran pelaku ekonomi kreatif terhadap arti penting HKI akan berdampak pada percepatan peningkatan nilai tambah pada produk mereka. Produk ekonomik reatif yang dilekatkan dengan pelindungan Hak Kekayaan Intelektual tidak saja akan menjadikan nilai tambah ekonomi pada produk, akan tetapi lebih jauh member jaminan kualitas dan reputasi kepada para konsumen. Pada gilirannya akan berujung pada serapan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara.
Tak dapat dipungkiri bahwa budaya dan kreatifitas akan tumbuh jika terdapat jaminan atas hak-hak yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi kreatif. Di era Revolusi Industri 4.0 dan merangkak ke Era Society 5.0 dunia telah memasuki era baru di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis digital telah menumbuhkan kreatifitas warga yang semakin hari semakin sulit untuk diperkirakan. Karenanya upaya untuk menemukan hal-hal baru harus terus menerus dilakukan.
Produk kreatifitas yang berbasis pada HKI misalnya akan memiliki “hight drawing attention ability” dengan orisinalitas dan keunikan yang dimilikinya, di samping akan mengakar dalam masyarakat namun juga dapat memiliki jangkauan yang luas. Daya pembeda atas satu produk ekonomi kreatif juga berada dalam cakupan yang sangat luas itu. Mulai dari kemiripan ciptaan, kualitas produk,desain produk industri, rasa atau aroma, bunyi atau suara, tanda pembeda atas produk semuanya akan rentan dari tindakan pembajakan, peniruan, passing off dan penggunaan dengan cara melawan hukum.
Gagasan ekonomi kreatif merupakan suatu konsep di era ekonomi baru. Ekonomi kreatif memadukan informasi pengetahuan dan kreatifitas sebagai asset utama. Andalannya adalah ide-ide kreatif dan sumber daya buatan yang memberikan nilai tambah ekonomi atas satu produk. Idea and stock of knowledge dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam melakukan kegiatan ekonomi yang berbasis pada kreatifitas.
Gagasan atau ide yang tadinya berupa bamboo sebagai produk anyaman, kini diubah menjadi lukisan di atas bambu. Pengubahan-pengubahan dari bahan baku asal menjadi produk industri dan kerajinan yang berpangkal pada kecerdasan manusia dituangkan atau diwujudkan dalam bentuk produk yang memiliki nilai tambah ekonomi, sudah semestinya dilekatkan pelindunganhak kekayaan intelektual (intellectual property rights), agar produk itu memiliki nilai ekonomi tinggi.
Muhammad Fauzy, SH, MH (alumni Fakultas Hukum USU Angkatan 1992) yang saat ini menjabat sebagai koordinator Bidang Pengembangan Edukasi, Advokasi dan Pendampingan Kekayaan Intelektual mengatakan, “Konferensi ini berjalan dengan baik dan membahas berbagai topik yang saat ini sangat diperlukan untuk percepatan pencapaian pertumbuhan ekonomi pasca pandemi covid-19. Terutama tema yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual yang selama ini sangat sedikit yang memahaminya. HKI memiliki keterkaitan erat dengan ekonomi kreatif. Hampir semua kegiatan ekonomi dan industry berhubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual”.
Pada akhirnya sasaran yang hendak dicapai dari ekonomi kreatif selain dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi negara juga membawa dampak pada terciptanya lapangan kerja dan lebih jauh menghasilkan produk yang memiliki daya jual dan daya saing yang tinggi baik di pasar domestic maupun di pasar global.
Tentu saja masih banyak isu-isu penting lainnya yang belum sempat dibincangkan. Persoalan ekonomi dunia yang semakin hari semakin kompleks rasanya tak cukup untuk diurai dalam waktu tiga hari.
Tapi apapun juga Konferensi ini telah menginspirasi peserta konferensi bahwa masa depan perekonomian dunia salah satunya akan ditentukn oleh pelaku ekonomi dan industry kreatif yang di dalamnya tak dapat dilepaskan dengan pelindungan hak kekayaan intelektual. Aspek perdagangan dan industry selalu dihubungkan degan pelindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Akhirnya konperensi ini merekomendasikan untuk penyelenggaraan World Conference on Creative Economy (WCCE) yang ke-4, dua tahun yang akan datang disepakati akan dilaksanakan di Uzbekistan.**
Penulis adalah OK. Saidin (Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum USU/Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia)