banner 728x250

Ancaman Resesi Global Mengintai, Anis Matta: Pemerintah Perlu Ekstra Hati-hati Buat Kebijakan

banner 120x600
banner 468x60

Jakarta, Invocavit.Com-  Pemerintah diminta ekstra hati-hati dalam membuat kebijakan, terutama dalam pengelolaan belanja yang tidak produktif, karena akan berdampak serius pada perekonomian.

 

banner 325x300

Hal itu dikatakan Anis Matta dalam diskusi bertajuk “Gelora Tak bertajuk ‘Ancaman Resesi Global Mengintai, Bagaimana Indonesia Menghadapinya?’, baru-baru ini di Jakarta.

 

Menurutnya sikap kehati-hatian ini, akan menghindarkan Indonesia dari jeratan jurang resesi atau krisis ekonomi seperti yang terjadi tahun 1998 lalu.

 

“Kita masih tertolong dengan adanya windfall,  keuntungan kenaikan harga komoditas. Tapi komoditas ini, tidak dalam kendali kita, setiap saat bisa pergi, ” ujarnya.

 

Ekonomi Indonesia saat ini tidak benar-benar aman dari resesi. Sehingga pemerintah tidak perlu melakukan pembelaan diri sekedar memberikan rasa aman kepada publik, bahwa Indonesia tidak akan terkena Resesi.

 

“Jauh sebelum krisis ekonomi tahun 1998 meledak, kita selalu mendengar satu mantra dari para ekonom, bahwa fundamental ekonomi kita kuat. Tapi kenyataannya, kita terkena krisis dan tiba-tiba mantra-mantra itu hilang,” ketusnya.

 

Upaya itu,  saat ini dicoba diulangi lagi oleh pemerintah sekarang dengan mengatakan, bahwa potensi Indonesia kecil terkena resesi.

 

“Apakah mantra itu, sama yang kita baca sekarang atau tidak, nanti kita lihat, karena krisis punya cara kerja sendiri. Tapi yang kita saksikan setiap hari, adalah wajah-wajah publik yang semakin galau,  semakin frustrasi dan semakin kehilangan harapan,” sebutnya.

 

Krisis ekonomi saat ini,  selain memilliki sifat sistemik juga dipengaruhi banyak faktor geopolitik seperti perang supremasi antara Amerika Serikat-Rusia, yang berdampak pada harga komoditas secara global.

 

Karena itu, Anis Matta berharap pemerintah mampu membaca arah krisis secara global, seperti kemana arah selanjutnyna dan dimana titik aman Indonesia agar tidak menjadi collateral demage.

 

“Partai Gelora meminta pemerintah membaca situasi kita secara lebih lengkap dalam pengelolaan situasi makro dengan tidak membenarkan pemborosan anggaran dalam belanja kita. Itu satu kesalahan yang sangat besar,” tegas Anis Matta.

 

Sedangkan Managing Director Political Economic and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, ekonomi Indonesia saat ini sedang menuju resesi. Indikasinya, inflasi tinggi, harga-harga melonjak dan utamanya harga komoditas dunia.

 

“Indonesia bergantung pada The Fed (Bank Sentra AS) untuk penentuan suku bunga. Sehingga pemerintah harus waspada apabila suku bunga dinaikkan, karena akan berpengaruh pada pelemahan rupiah dan harga komoditas yang menurun. Tentu ini, akan sangat menyulitkan kembali bagi Indonesia,” tutur Anthony.

 

Hal senada disampaikan Fuad Bawazier, Menteri Keuangan RI Tahun 1998. Fuad menilai perekonomian nasional masih terasa nyaman karena diuntungkan faktor eksternal yakni kenaikan harga komoditas dunia.

 

“Kalau ini kemudian jatuh harganya, bagaimana? dan kemungkinannya pasti ada, bisa akhir atau awal tahun 2023 bisa saja. Kalau ini terjadi, semua akan drop, bakal kalang kabut,” sebutnya.

 

Fuad berharap pemerintah segera membenahi pengeluaran yang tidak perlu atau tidak penting, karena akan membebani APBN seperti proyek pembanguna Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kerata Api Cepat Jakarta Bandung dan lain-lain.

 

“Kita juga harus mendorong kemandirian pangan, banyak sekali sawah berubah fungsi menjadi lahan komersial. Impor beras memang tidak terdengar kuat, namun permintaan gandum sebagai bahan pangan pengganti beras cukup tinggi. Intinya kita meningkatkan kemampuan internal terlebih dahulu,” tutur Fuad Bawazier.

 

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Gunawan Tjokro mengatakan, pengusaha  optimis bisa melewati kondisi sulit atau krisis. Hal ini, dengan jalan merespon dengan pengetatan pengeluaran dan meningkatkan kapasitas peluang pemodalan dari perbankan.

 

“Kami ini modalnya optimis, bahkan saat krisis ada opsi peluang pinjaman malah kita optimalkan. Terpenting cash flow terus berjalan,” imbuhnya.

 

Bagi pengusaha, dampak krisis terjadi dari konsumen menahan konsumsinya. Kemudian juga disikapi pengusaha dengan menahan atau menunda capex nya dan fokus pada pengeluaran rutin terlebih dahulu.

 

Pengalamanya saat terjadi krisis tahun 1998 silam. Saat itu, permintaan konsumen anjlok hanya tinggal sekitar 20 persen.

“Karena mampu menahan pengeluaran, kita malah mengambil alih tiga perusahaan yang sudah mau bangkrut. intinya persiapan cashflow harus baik, saat musim paceklik. Setiap krisis selalu ada kesempatan, kita juga tak boleh over reaction atau respon berlebihan. Kalau terlalu reaktif malah akan menciptakan lubang resesi sendiri,” tutur Gunawan. (zar).

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *